Ancaman Penyakit EMS dan AHPND pada Udang

oleh  di 11 June 2019

  • Ancaman penyakit ikan pada budi daya udang semakin nyata dirasakan para pembudi daya ikan dewasa ini. Agar ancaman itu tidak menjadi nyata, Pemerintah meningkatkan kewaspadaan dengan merangkul semua elemen yang terlibat dalam usaha budi daya tersebut
  • Dua penyakit ikan yang sedang menjadi perhatian Indonesia dan dunia sekarang, adalah early mortality syndrome (EMS) dan acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND). Kedua penyakit tersebut sangat berbahaya dan bisa menurunkan produksi udang di tambak
  • Upaya yang dilakukan oleh Indonesia, di antaranya adalah melaksanakan sosialisasi berupa pemberian informasi tentang kedua penyakit tersebut dan bagaimana cara melakukan pencegahan terhadap keduanya. Sosialisasi dilakukan di seluruh daerah, terutama yang menjadi penghasil udang
  • Pengawasan dan pencegahan menjadi langkah penting bagi Indonesia, karena tidak mau mengulangi kesalahan di amsa lalu, saat industri udang nasional mengalami keterpurukan. Momen yang terjadi pada masa 1990-an itu, muncul setelah budi daya udang windu diserang penyakit ikan yang sangat berbahaya
Indonesia terus berupaya untuk mencegah masuknya penyakit ikan pada udang yang memiliki resiko besar dan bisa menurunkan kualitas serta kuantitas produksi budi daya udang di Nusantara. Salah satu yang menjadi perhatian, adalah penyakit early mortality syndrome (EMS), yang disinyalir memiliki kemiripan dengan penyakit acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND).
Kedua penyakit tersebut, diketahui merupakan penyakit serius yang bisa menyebabkan berbagai kerugian fisik dan finansial pada industri budi daya udang. Dampak negatif dari kedua penyakit itu, sudah dirasakan di beberapa negara dan berakhir dengan penurunan produksi udang secara signifikan. Negara-negara yang dimaksud, di antaranya adalah Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Meksiko, dan Filipina.
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, kerugian paling signifikan dari ancaman kedua penyakit tersebut, adalah penurunan produksi yang signifikan. Bagi Indonesia, ancaman terus akan semakin terasa karena udang adalah komoditas nasional yan menjadi andalan untuk pasar ekspor.




Udang vaname dengan kondisi hepatopancreas yang pucat dan menyusut, dan perut kosong karena terkena penyakit AHPND. Foto : D. V. Lightner/semanticshcolar.org/Mongabay Indonesia
Menurut Slamet, penyakit tersebut ditimbulkan dari infeksi Vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang diketahui mampu memproduksi toksin dalam jumlah yang tidak sedikit. Khusus AHPND, penyakit sangat rentan menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan mortalitas mencapai 100 persen pada stadia postlarvae (PL) umur 30-35 hari dan udang usia lebih dari 40 hari setelah tebar di tambak.
“Untuk itu, langkah sosialisasi pencegahan penyakit EMS dan AHPND menjadi jalan yang tepat untuk menyikapi ancaman tersebut. Selain itu, kita juga membentuk gugus tugas (task force) pencegahan penyakit AHPND yang di dalamnya ada unsur Pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan pakar,” ucap dia, tiga pekan lalu di Jakarta.
Menurut Slamet, sosialisasi yang dilaksanakan sudah berjalan sejak April hingga sekarang dan melibatkan stakeholder perikanan budi daya seperti Schrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Perusahan Makanan Ternak (GPMT), usaha pengolahan dan lainnya. Semua unsur saling membantu dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Barat.

Pengawasan Semua
Upaya sosialisasi yang dilakukan tersebut, kata Slamet, menjadi bagian dari tindak lanjut hasil surveilan EMS/AHPND yang dilakukan oleh KKP pada 2018 lalu dan juga menjadi implementasi 12 poin kesepakatan bersama antara pelaku usaha dan Pemerintah saat pertemuan pada 20 Februari 2019 di Surabaya tentang upaya pencegahan EMS/AHPND.
“Sedangkan pemilihan lokasi sosialisasi sendiri, didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut secara tradisional merupakan sentra penghasil udang utama di Indonesia,” jelasnya.
Menurut Slamet, sesuai 12 poin kesepakatan, sosialisasi dilakukan kepada seluruh pembudi daya dan stakeholder pada lingkup industri perikanan budi daya, terutama budi daya udang. Dari situ, diharapkan hasilnya bisa diterapkan pada seluruh tambak atau hatchery yang ada di seluruh Indonesia. Untuk bisa melaksanakan itu dan mencegah penyakit masuk, perlu komitmen bersama dari semua elemen.
“Masing-masing stakeholder harus tahu perannya sesuai dengan 12 butir kesepakatan tersebut,” ujarnya.



Udang yang sehat (A) dan terkena penyakit hepatopancreatic necrosis (AHPND)                                                                                  dengan usus kosong (panah kuning) (B). Foto :Departemen Perikanan                                                                 Thailand/semanticshcolar.org/Mongabay Indonesia


Slamet menyebutkan, agar sosialisasi bisa memberikan dampak yang positif, pihaknya terus melakukan surveilan atau pengawasan terhadap cara budi daya ikan yang baik, penggunaan induk, dan melaksanakan monitor residu. Oleh itu, Pemerintah akan menerjunkan pengawas pembudi daya ikan untuk memonitor kegiatan budi daya di masyarakat.
Indonesia sendiri, menurut Slamet, berkepentingan untuk mencegah penyakit EMS dan AHPND masuk ke dalam negeri, karena di akhir 1990-an sudah merasakan dampak buruk dari penyakit ikan. Saat itu, budi daya udang windu mengalami keterpurukan setelah tambak-tambak diserang penyakit ikan yang membuat produksi menurun secara drastis dengan kualitas yang sangat rendah.
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, Pemerintah berjanji akan menjaga udang, terutama vaname untuk selalu terbebas dari berbagai ancaman penyakit ikan. Salah satu upaya yang dilakukan, adalah dengan menjaga seluruh usaha dari hulu ke hilir yang terhubung dengan komoditas udang. Tanpa upaya preventif seperti, ancaman pelaku usaha mengalami gulung tikar, akan kembali terjadi.
Slamet mengungkapkan, pentingnya melakukan upaya pencegahan untuk menghadapi ancaman penyakit EMS dan AHPND, tidak lain karena udang adalah primadona komoditas ekspor dari Indonesia. Dengan demikian, walaupun volumenya lebih kecil dibandingkan tuna, namun nilai ekspor udang jauh lebih besar dari tuna.
“Sehingga udang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PDB perikanan,” tegasnya.
Gejala Indikasi
Untuk bisa mengenali penyakit EMS dan AHPND, Slamet mengatakan bisa dilihat gejalanya di hatchery pada post larva telur, air bak benur dan induk, pakan alami (artemia dan cumi), dan feses. Sedangkan pada tambak, dapat ditemukan pada udang, kepiting, air tambak dan sedimen (lumpur).
Untuk itu, menurut Slamet, untuk memastikan produksi udang aman dari serangan penyakit ikan, maka harus dipastikan unit usaha dari hulu ke hilir benar-benar aman. Cara paling mudah untuk memastikan semua aman, maka bisa ditiru prinsip panca usaha yang populer pada tahun 1990-an. Prinsip tersebut terdiri dari lima usaha yang harus dilakukan oleh pembudi daya ikan di manapun berada.
“Persiapan lahan, benur, sarana prasarana (peralatan dan pakan), manajemen usaha, serta pengendalian penyakit dan lingkungan. Kita perlu hidupkan kembali konsep yang cukup baik ini,” tuturnya.
Bagi Slamet, apa yang sedang dilakukan saat ini, menjadi bagian dari upaya mempertahankan konsistensi udang sebagai penyumbang devisa besar bagi Indonesia. Dia tidak berani membayangkan jika industri budi daya udang Indonesia mengalami nasib yang sama seperti di negara lain yang terserang penyakit ikan EMS dan AHPND.
“Capaian produksi udang yang selalu kita upayakan terus meningkat dari tahun ke tahun, seketika itu industri udang kita akan hancur seperti yang terjadi di Thailand dan Vietnam. Dampak yang akan ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh pembudi daya, melainkan oleh industri lainnya seperti pengolahan, pakan, serta penurunan devisa dari sektor perikanan,” ungkap dia.
Dengan resiko seperti di atas, Slamet menambahkan, walau Indonesia saat ini masih terbebas dari penyakit EMS dan AHPND, namun kalau melihat latar belakang munculnya penyakit ini, maka segala potensi resiko dalam industri budi daya udang nasional harus diantisipasi secara serius. Untuk itu, perlu kewaspadaan tinggi menghadapi ancaman penyakit lintas batas (transboundary disease) tersebut yang dapat mengancam industri perudangan nasional.
“Ini tentu jadi fokus perhatian kita agar Indonesia tidak mengalami nasib yang sama (dengan negara lain). Oleh karena itu, jangan sampai ada kejadian AHPND di Indonesia, jika sudah ada tampak gejala saja, kita harus segera bertindak. Mencegah lebih baik daripada pengobatan,” pungkasnya.
Diketahui, penyakit ikan AHPND pertama kali ditemukan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2009 dengan sebutan Covert Mortality Disease. Kemudian pada 2011, penyakit AHPND dilaporkan telah menyerang Vietnam dan Malaysia, disusul Thailand (2012), Mexico (2013) dan Filipina (2015). Selain negara-negara tersebut, saat ini India juga dilaporkan diduga terserang AHPND.
Dari catatan lembaga pangan PBB (FAO), dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun produksi udang di Thailand mengalami penurunan produksi yang sangat drastis dari 609.552 ton pada 2013 menjadi 273.000 ton pada 2016 akibat serangan AHPND. Sedangkan dampak kerugian ekonomi yang dialami Vietnam selama kurun waktu 2013 – 2015 adalah sebesar USD216.23 juta atau rerata sebesar USD72 juta per tahun.
Sumber : Mongabay