KKP Genjot Ekspor Perikanan Budidaya ke Timur Tengah dan Jepang

Slamet Soebjakto, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada acara penutupan pada acara Aquatica Asia & Indoaqua 2018 di Jakarta/ist

Agrofarm.co.id-Produksi perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir (2013-2017) tumbuh rata-rata sebesar 4,97 persen per tahun. Tahun 2017 produksi perikanan nasional tercatat 16.114.991 ton, atau naik 0,74 persen dari tahun 2016 yang mencapai 16.002.319 ton
BPS mencatat Sepanjang 5 (lima) tahun terakhir (2013-2017) nilai ekspor perikanan budidaya tumbuh rata-rata pertahun sebesar 5,24 persen. Tahun 2017 ekspor perikanan budidaya tercatat sebesar 1,83 milyar USD atau naik 13,47 persen dibanding tahun 2016.
“Kinerja positif ini patut menjadi titik tolak dalam mendorong ekspor perikanan budidaya nasional, sehingga secara langsung berkonribusi lebih besar lagi terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Slamet Soebjakto, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada acara penutupan pada acara Aquatica Asia & Indoaqua 2018 di Jakarta, Jumat (30/11/2018).
Menurutnya, target ekspor ke depan, yang akan digenjot yakni Catfish. Hal ini untuk untuk mengambil alih pangsa pasar patin dunia yang sebelumnya hamper 80 persen dikuasai Vietnam. Saat ini produk patin Vietnamtengah di embargo oleh negara-negara importir.
“Kebutuhan patin dunia sebesar 700.000 ton, sehingga Indonesia memiliki peluang untuk mengambil alih supply share patin Vietnam di pasar global hingga mencapai lebih kurang 570.000 ton,” ungkap Slamet.
“Indonesia juga berhasil membuka peluang pasar di Timur Tengah yang saat ini kebutuhannya cukup besar yakni sebanyak 50.000 ton 60.000 ton. Indonesia saat ini sedang branding patin nasional dengan nama INDONESIAN PANGASIUS,” tambahnya.
Udang juga masih menjadi komoditas utama yang dikembangkan untuk ekspor. KKP telah melakukan pooling preference kepada konsumen di beberapa negara untuk mengetahui pilihan konsumen terhadap jenis udang yang disukai.
“Konsumen di Jepang lebih menyukai udang monodon, kemudian merguensis, dan selanjutnya vaname. Sedangkan di Indonesia, monodon masih menjadi primadona pasar,” ujar Slamet.
Kinerja NTUPi positif
Indikator ekonomi mikro sub sektor perikanan budidaya sepanjang tahun 2018 terus memperlihatkan kinerja yang positif, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan Nilai Tukar Pembuidaya Ikan (NTPi) dan Nilai Tukar Usaha Pembudidaya Ikan (NTUPi) tumbuh positif dibanding periode yang sama tahun 2017.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren perkembangan NTPi hingga Oktober tahun 2018 tumbuh rata-rata sebesar 0,29 persen per bulan. Tercatat periode Oktober 2018 nilai NTPi sebesar 101,89 atau naik 2,38 persen dibanding periode yang sama tahun 2017 yang mencapai 99,52.
Begitu halnya dengan NTUPi, BPS juga mencatat selama periode yang sama sepanjang 2018 tumbuh positif, dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 0,29 persen. Bulan Oktober 2018, nilai NTUPi tercatat sebesar 114,31 atau naik 3,68 persen dibanding tahun 2017 yang mencapai 110,25.
NTPi merupakan rasio antara indeks yang diterima pembudidaya ikan dengan indeks yang dibayarkan. Jika melihat tren pertumbuhan NTPi yang positif sepanjang tahun 2018, dengan nilai lebih besar dari 100 menunjukkan bahwa ada perbaikan struktur ekonomi masyarakat pembudidaya ikan.
Struktur ekonomi tersebut yakni peningkatan pendapatan yang berdampak pada perbaikan daya beli masyarakat pembudidaya ikan, utamanya teradap akses kebutuhan dasar. Nilai NTPi yang positif sebesar 101,89 juga berpengaruh terhadap saving ratio, sehingga memungkinkan para pembudidaya ikan meningkatkan kapasitas usahanya melalui re-investasi.
Berdasarkan distribusi nilai NTPi di masing-masing Provinsi, tercatat pada periode Oktober 2018 nilai NTPi terbesar berturut-turut yakni Jawa Timur (107,11); Kepulauan Riau (107,11); Sumatera Barat (107,07); Maluku (106,77); dan Jawa Barat (106,28).
Dalam kurun waktu (2017 hingga triwulan III 2018), pendapatan pembudidaya secara nasional tercatat naik sebesar 8,6 persen, yakni dari Rp. 3,09 juta menjadi Rp. 3,36 juta pada TW III tahun 2018 ini. Pendapatan ini jauh lebih besar dibanding standar upah minimum secara nasional yang mencapai Rp. 2,25 juta.
Program gerakan pakan mandiri yang terus berkembang di sentral-sentral produksi juga telah memberikan efek besar dalam menekan biaya produksi budidaya. Nilai NTUPi sepanjang tahun 2018 yang tumbuh positif, menjadi indikasi bahwa kegiatan usaha budidaya ikan semakin efisien dan telah memberikan nilai tambah lebih besar. Bimo
Sumber : agrofarm